Tak
punya pacar nampaknya menjadi sesuatu aib yang sangat mengerikan dan menakutkan
bagi sebagian besar orang saat ini. Bagaimana tidak? Rasanya, sebagian besar
orang yang saya temui menganggap bahwa pacaran adalah hal yang biasa. Justru
kalau tidak punya pacar itu terkesan sebagi orang kuper, orang tertutup, atau
lebih parah lagi sebagai orang yang tidak laku. Tapi sebenernya mahh ga gitu gitu amat si menurut saya -.........-
Anak
SMA, mahasiswa, para lajang yang belum menikah entah berapa persennya (yang
jelas besar) mereka berstatus berpacaran. Bahkan anak SMP pun banyak sekali
yang berpacaran. Kebetulan saya punya keponakan yang duduk di bangku SMP.
Sebagian besar temannya sudah berpacaran. Bahkan, teman saya ikutan jadi mak
comblangnya? Hwadduh! -___-“
Okey,
saya ingin memberi batasan pada tulisan saya kali ini. Katakanlah pacaran yang
saya maksud di sini adalah pacarannya anak SMP, SMA, sampai dengan
mahasiswa yang mereka masih dibawah pengawasan orang tuanya. Pacaran
dalam arti hubungan status, pemberian perhatian lebih, sering pergi bersama,
dan lain-lain, TAPI tanpa ada kontak fisik diantara mereka yang berpacaran
seperti ciuman dan lainnya. Entah sejauh mana mereka yang berpacaran mampu
menjaga batas itu, tidak masuk dalam bahasan ini.
Penilaian
orang terhadap batasan pacaran itu berbeda-beda. Dengan batasan pacaran seperti
yang saya maksud, banyak orang tua yang mengizinkan anaknya berbuat demikian.
Its okey for them selama tidak ada kontak fisik.
Bahkan,
dengan batasan semacam itu, banyak pula yang memandang dari manfaat. Baik para
orang tua maupun anak pelaku pacaran itu sendiri. Diantara manfaat tersebut
antara lain :
1. Bisa jadi penyemangat. Terutama bagi yang masih sekolah.
Yang berpacaran itu bisa saling menyemangati untuk mengejar prestasi. Selain
mereka juga bisa berdiskusi pelajaran di sekolah/kampus.
2. Ada pendengar setia atau setidaknya ada tempat untuk
berbagi cerita.
3. Ada yang memperhatikan atau adanya saling perhatian.
4. Ada yang menemani kalau pergi-pergi.
5. Sebagai wahana belajar. Belajar mencintai, belajar
menerima kelebihan dan kekurangan seseorang, bahkan belajar memiliki.
Setidaknya
itu informasi yang saya dapat dari para orang yang berpacaran. Sebenarnya masih
ada lagi, tapi insyaAllah akan saya tulis di kesempatan yang lain agar tulisan
ini tidak terlalu panjang. ^__^
Okey,
benar memang dari manfaat yang mereka peroleh. Satu pertanyaan yang akan saya
ajukan, apakah benar manfaat yang diperoleh di dunia itu kemudian mendatangkan
mendatangkan manfaat yang sebenarnya? Yaitu manfaat mendapat pahala/ridho dari
Allah atas setiap prestasi yang diperoleh.
Manfaat
pada poin 1. Ketika memang ingin berprestasi dan terus semangat, apakah cara
yang ditempuh untuk mendapatkan itu benar? Ketika cara yang digunakan adalah
cara yang tidak disukai Allah, cara yang dilarang oleh Allah. Ketika
manfaat itu benar-benar didapatkan, misal yang perempuan peringkat 1
paralel dan yang laki-laki peringkat 2. Apakah kemudian manfaat itu benar-benar
barokah baginya? Saya rasa tidak. Kemanfaatan yang diperoleh dengan cara itu
akan terkikis oleh dosa yang disebabkan mereka membuat Allah cemburu. Dengan
kata lain, manfaat itu hanya manfaat semu.
Analog
dengan poin 1, begitu juga dengan poin 2 sampai 4.
Lalu
bagaimana dengan poin 5? Ini adalah poin yang fatal. Nampaknya terdengar baik,
belajar memiliki, belajar menerima, belajar mencintai. Tapi siapa dulu yang
dicintai itu? Sesuatu yang baik ketika berada di tempat dan waktu yang salah
tidak akan menjadi benar. Jika yang dimaksud adalah belajar memiliki, menerima,
dan mencintai pasangan hidup, apakah di antara orang yang berpacaran itu ada
ikatan yang sah yang dibenarkan? Orang cerdas akan menjawab, “Tidak!”
Terlebih
lagi, jika yang sudah terlanjur berpacaran sekian lama dan ternyata menikah
dengan orang lain. Waw, bakal berabe dah! :D
Kalau
ingin belajar memiliki, menerima, mencintai tentu melalui keluarga itu adalah
tempat yang paling tepat. Melalui sahabat pun bisa, sangat bisa.
Saya
harap, para orang tua menyadari hal ini. Sejauh yang saya temui, banyak orang
tua yang tidak keberatan saat anaknya berpacaran model seperti ini. Seharusnya,
mereka ada di dalam hati anak-anaknya agar anak-anak tidak mencari penyemangat,
perhatian, pendengar, juga belajar dari cara yang salah.
Posting Komentar